Rabu, 02 Agustus 2017


Penelitian terbaru mengungkapkan, anak-anak yang memiliki orang tua terlalu mengekang lebih mungkin menjadi korban intimidasi fisik dan psikis, atau bullying, dari teman-temannya.
Sebuah tinjauan dari 70 penelitian yang mengamati 200,000 anak mengungkapkan, orang tua yang terlalu "melindungi" anak-anaknya dari pengalaman yang tidak menyenangkan akan membuat mereka lebih rentan dari praktek bullying.
Namun hasil penelitian itu menunjukkan pula, anak-anak yang memiliki orang tua yang keras merupakan anak-anak paling mungkin mengalami perlakuan bullying.
Professor Dieter Wolke mengatakan, semua orang menganggap perilaku bullying acap terjadi di sekolah, namun hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa intimidasi benar-benar dimulai dari rumah.
Profesor psikologi di Universitas Warwick ini mengatakan, dia berharap bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang bersikap keras paling mungkin menjadi mangsa para pelaku intimidasi.
Tetapi dia mengaku agak terkejut ketika menemukan bahwa anak-anak dengan orang tua yang terlalu mengekang juga meningkatkan resiko terkena intimidasi teman-temannya.

Kompromi dengan konflik

Lebih lanjut Dieter Wolke mengatakan: "Meskipun keterlibatan orang tua, dukungan dan pengawasan yang tinggi akan mengurangi kemungkinan anak-anak terlibat dalam bullying, tetapi jika itu dilakukan secara berlebihan (overprotection) akan membuat anak-anak itu meningkat resikonya untuk menjadi korban."
"Anak-anak membutuhkan dukungan tetapi beberapa orang tua mencoba untuk melindunginya dari semua pengalaman yang tidak menyenangkan. Dalam prosesnya, mereka mencegah anak-anaknya untuk belajar berurusan dengan para pelaku sehingga membuat mereka menjadi lebih rentan."
Dia menambahkan: "Seandainya anak-anak mampu menghadapi persoalan yang sulit, mereka menjadi tahu bagaimana menangani konflik. Jika orang tua selalu mengambil alih konflik yang dialami anak-anaknya, maka anak-anak itu tidak memiliki strategi mengatasinya dan lebih mungkin dia menjadi target bullying... "
Dieter Wolke kemudian mengatakan: "Pengasuhan orang tua dengan aturan yang jelas tentang sikap berperilaku, serta pemberian dukungan dan hubungan yang hangat merupakan pendekatan paling mungkin untuk mencegah jatuhnya korban."
Seperti dikutip dari jurnal Child Abuse and Neglect, Wolke melanjutkan: "Para orangtua sebaiknya membiasakan agar anak-anaknya belajar untuk mampu menyelesaikan sendiri konfliknya dengan teman-temannya ketimbang ikut campur tangan secara mendalam."

Stop Bullying Anak Berkebutuhan Khusus






MEMPUNYAI anak ber­kebutuhan khusus (ABK) bukanlah ke­hendak semua orang. Setiap orang pasti berharap memiliki anak yang sempurna, normal layaknya anak-anak lain yang berkembang sesuai dengan usianya. ABK baik karena tuna­rungu, tunawicara, tuna­netra, autisme, dan sebagainya harus­lah diterima oleh semua pihak. Tidak hanya oleh orang tua, keluarga, saudara, tetapi juga oleh lingkungan sekitarnya baik lingkungan rumah atau tetangga dan lingkungan se­kolah atau lingkungan kampus. 

Namun, ternyata masih banyak yang memandang hina ABK. Hal ini terkait dengan persepsi serta pandangan orang yang secara umum memandang bahwa ABK bukan sekadar penyakit medis, tetapi terkadang dilihat sebagai penyakit sosial. 

ABK dipandang sebagai aib atau hal-hal lainnya yang berimbas terhadap identitas sosial anak dan keluarga dalam lingkungannya. ABK kerap menjadi bahan ejekan teman-temannya baik di lingkungan rumah atau sekolah sebagai­mana yang baru saja terjadi akhir-akhir ini di sebuah lem­baga perguruan tinggi. Mestinya pada tingkat perguruan tinggi sudah bisa menerima setiap perbedaan, dan tidak memberikan stigma negatif kepada ABK. 

Tanpa adanya ”bully” ter­hadap ABK, itu sudah merupakan bentuk dukungan masyarakat kepada keluarga terutama orang tua ABK, dan sebaliknya adanya stigma terhadap ABK ini tentu makin memberatkan keluarga dan orang tua secara psikologis. 

Penilaian negatif atau stigma dari masyarakat masih sering dialami oleh ke­luarga yang memiliki anak dengan kecacatan (Goffman, 1986). Padahal bukanlah sesuatu yang mudah untuk dapat menerima kehadiran anak berkebutuhan khusus dalam sebuah keluarga. Awalnya selalu timbul kekecewaan di hati setiap orang tua yang pertama mengetahui kondisi anaknya yang memiliki perbedaan dengan anak lain­nya. 

Kekecewaan tersebut dapat berimbas pada sikap orang tua terhadap penerimaan anak yang diharapkannya, karena tidak semua orang tua dan keluarga dapat menerima kenyataan bahwa mereka memiliki anggota keluarga yang berkebutuhan khusus. Ada yang menolak dan tidak percaya dengan keadaan yang sebenarnya, sehingga kehadiran si anak menjadi beban bagi mereka. 

Pada hakikatnya sangat manusiawi jika ada penolakan sikap keluarga ketika mengetahui salah satu anggota keluarga mereka terutama anak mereka menjadi ABK, bahkan dapat menjadi pukulan berat bagi keluarga. Jika keluarga siap dan menerima dengan lapang dada maka tidak akan menjadi persoalan berat, namun jika hal tersebut direspons dengan perasaan berat maka akan menjadi berat. 

Penerimaan keluarga kepada ABK dapat menunjang perkembangan kesehatan ABK, terutama menambah rasa percaya diri ABK ketika berada dalam sebuah lingkungan. Hal inilah yang meski harus diketahui semua orang, karena kehadiran ABK bisa terjadi pada semua orang, entah oleh teman kita, keluarga kita sendiri, atau kolega kita. Sehingga kita harus bisa me­mosisikan diri kita sebagai bagian dari keluarga ABK. 

Selain itu, pandangan masyarakat tentang keluarga yang memiliki ABK juga menjadi alasan tersendiri yang dapat menimbulkan keinginan keluarga untuk menutupi keberadaan anak dan mengisolasi diri dari kegiatan masyarakat. Keluarga merasa malu memiliki anak yang berbeda dengan anak yang seusianya saat berkumpul dengan keluarga besar atau teman kerja bahkan keluarga harus menghadapi situasi di mana keluarga tidak diikutsertakan dalam kegiatan masyarakat yang melibatkan seluruh anggota keluarga karena memiliki ABK. 

Struktur budaya di lingkungan masyarakat juga turut memengaruhi pembentukan nilai dan norma di dalam keluarga. Keluarga memandang keberadaan keluarga sebagai suatu hukuman, dosa ataupun kutukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Soemaryanto (Hamid, 1993) yang menyatakan bahwa keluarga menganggap kehadiran anak dengan retardasi mental merupakan suatu hukuman akibat perbuatan keluarga itu sendiri. 

Anggapan tersebut meskipun sudah menurun, masih tetap menjadi nilai dan norma yang dianut oleh sebagian kecil keluarga di Indonesia. Keluarga merasakan adanya anggapan negatif, labelling  dan diskriminatif yang memengaruhi kehidupan mereka. Alhasil kondisi ini menumbuhkan keinginan menarik diri secara fisik dan sosial, dan membatasi diri untuk menggunakan kesempatan berintegrasi dengan lingkungan masyarakat.
 
Padahal, seorang anak yang lahir di dunia memiliki berjuta kemungkinan yang mereka bawa ke dunia. Kemungkinan-kemungkinan ini tidak selalu merupakan peluang yang baik dan menyenangkan. 

Oleh karena itu, keluarga dan lingkungan memiliki kewajiban membuka peluang sebesar-besarnya bagi anak agar kemungkinan-kemungkinan yang terjadi membuka kehidupan mereka menjadi kehidupan yang indah dan penuh warna. Berjuta ke­mungkinan yang terbuka sepanjang kehidupan anak sangat dipengaruhi oleh per­kem­bang­an kehidupan anak itu sendiri, khususnya kehidupan mereka dalam keluarga, lingkungan tempat tinggal, ataupun ling­kungan sekolah.

setop bullying di sekolah






Bullying merupakan suatu kejadian yang seringkali tidak terhindarkan terutama di sekolah. Bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok, suatu perilaku mengancam, menindas dan membuat perasaan orang lain tidak nyaman. Seseorang yang bisa dikatakan menjadi korban apabila dia diperlakukan negatif (secara sengaja membuat luka atau ketidak nyamanan melalui kontak fisik, melalui perkataan atau dengan cara lain) dengan jangka waktu sekali atau berkali-kali bahkan sering atau menjadi sebuah pola oleh seseorang atau lebih.

Bullying seringkali terlihat sebagai bentuk-bentuk perilaku berupa pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik maupun psikologis terhadap seseorang atau kelompok yang lebih ‘lemah’ oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempersepsikan dirinya lebih ‘kuat’. Perbuatan pemaksaan atau menyakiti ini terjadi di dalam sebuah kelompok misalnya kelompok siswa satu sekolah.


Contoh perilaku bullying antara lain:

Kontak fisik langsung (meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya, memukul, menampar, mendorong, menggigit, menarik rambut, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain, pelecehan seksual).

Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip).

Perilaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya diertai oleh bullying fisik atau verbal).

Perilaku non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng).

Bullying tidak selalu berlangsung dengan cara berhadapan muka tapi dapat juga berlangsung di belakang teman. Pada siswa, mereka menikmati saat memanggil temannya dengan sebutan yang jelek, meminta uang atau makanan dengan paksa atau menakut-nakuti siswa yang lebih muda usianya. Sementara siswi melakukan tindakan memisahkan rekannya dari kelompok serta tindakan lainnya yang bertujuan menyisihkan individu lainnya dari grup, dan peristiwanya, sangat mungkin terjadi berulang.

Pelaku bullying mulai dari; teman, kakak kelas, adik kelas, guru, hingga preman yang ada di sekitar sekolah. Lokasi kejadiannya, mulai dari; ruang kelas, toilet, kantin, halaman, pintu gerbang, bahkan di luar pagar sekolah.


Dampak perilaku bullying.

Tidak semua korban akan menjadi pendukung bullying, namun yang paling memprihatinkan adalah korban-korban yang kesulitan untuk keluar dari lingkaran kekerasan ini. Mereka merasa tertekan dan trauma sehingga mempersepsikan dirinya selalu sebagai pihak yang lemah, yang tidak berdaya, padahal mereka juga asset bangsa yang pasti memiliki kelebihan-kelebihan lain.

Bagaimana anak bisa belajar kalau dia dalam keadaan tertekan? Bagaimana bisa berhasil kalau ada yang mengancam dan memukulnya setiap hari? Sehingga amat wajar jika dikatakan bahwa bullying sangat mengganggu proses belajar mengajar.

Bullying ternyata tidak hanya memberi dampak negatif pada korban, melainkan juga pada para pelaku. Bullying, dari berbagai penelitian, ternyata berhubungan dengan meningkatnya tingkat depresi, agresi, penurunan nilai akademik, dan tindakan bunuh diri. Bullying juga menurunkan skor tes kecerdasan dan kemampuan analisis para siswa. Para pelaku bullying berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal, jika dibandingkan dengan anak-anak yang tidak melakukan bullying.

Bagi si korban biasanya akan merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam) namun tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri bahwa dirinya tidak berharga. 

Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial juga muncul pada para korban. Mereka ingin pindah ke sekolah lain atau keluar dari sekolah itu, dan kalaupun mereka masih berada di sekolah itu, mereka biasanya terganggu prestasi akademisnya atau sering sengaja tidak masuk sekolah.Yang paling ekstrim dari dampak psikologis ini adalah kemungkinan untuk timbulnya gangguan psikologis pada korban bullying, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri,


Pencegahan dan penanggulangan perilaku bullying.

Semua orang bisa menjadi korban atau malah menjadi pelaku bullying. Diperlukan Kebijakan menyeluruh yang melibatkan seluruh komponen sekolah mulai dari guru, siswa, kepala sekolah sampai orang tua murid, yang tujuannya adalah untuk dapat menyadarkan seluruh komponen sekolah tadi tentang bahaya terselubung dari perilaku bullying ini.

Kebijakan tersebut dapat berupa program anti bullying di sekolah antara lain dengan cara menggiatkan pengawasan, pemahaman konsekuensi serta komunikasi yang bisa dilakukan efektif antara lain dengan Kampaye Stop Bullying di Lingkungan sekolah dengan sepanduk, slogan, stiker dan workshop bertemakan stop bulying. Kesemuanya ini dilakukan dengan tujuan paling tidak dapat meminimalisir atau bahkan meniadakan sama sekali perilaku bullying di sekolah.

Diharapkan dengan adanya kebijakan itu sekolah bukan lagi tempat yang menakutkan dan membuat trauma tapi justru menjadi tempat yang aman dan menyenangkan bagi siswa, merangsang keinginan untuk belajar, bersosialisasi dan mengembangkan semua potensi siswa baik akademik, sosial ataupun emosinal. Sekolah dapat menjadi tempat yang paling aman bagi anak serta guru untuk belajar dan mengajar serta serta menjadikan anak didik yang mandiri, berilmu, berprestasi dan berakhlak mulia. Bukan malah sebaliknya mencetak siswa-siswa yang siap pakai menjadi tukang jagal dan preman.

Kasus Bullying Anak di Thamrin City





JAKARTA, KOMPAS.com - Polri akan melibatkan psikolog dalam menangani kasus bullying terhadap siswi SMP yang terjadi di kawasan Thamrin City, Jakarta Pusat.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Pol Martinus Sitompul mengatakan, polisi melibatkan psikolog yang akan mendampingi para saksi yang masih di bawah umur itu.

"Dalam penanganan kasus kekerasan yang dilakukan anak, psikolog itu satu paket. Sehingga akan mengetahui penyebab anak-anak melakukan kekerasan tersebut," ujar Martinus di Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Senin (17/7/2017).
Tak hanya itu, korban juga akan didampingi psikolog saat dimintai keterangan.

Polisi akan menindaklanjuti laporan tersebut dengan undang-undang perlindungan anak.
"Pelaku yang juga masih anak-anak akan diproses dengan undang-undang tersebut," kata Martinus.
Sebelumnya beredar video bullying siswa dan siswi berseragam SMP terhadap seorang siswi yang terjadi di kawasan Thamrin City, Jakarta Pusat. Video itu viral di media sosial.
Polsek Tanah Abang mengaku sudah menerima laporan dari korban dan telah memintai keterangan saksi.
Video berdurasi 50 detik itu menunjukkan sejumlah siswa SMP sedang mengelilingi satu siswi yang menggunakan seragam putih.
Siswi berseragam putih itu mendapat kekerasan dari sejumlah siswa-siswi lainnya.
Tak ada perlawanan yang dilakukan siswi berseragam putih itu.
Pada akhir video, siswi tersebut disuruh mencium tangan siswa dan siswi yang mem- bully-nya.
Dari keterangan video, disebutkan bahwa lokasinya di Thamrin City.

Kasus Bullying Mahasiswa Gunadarma, Menteri Minta Pelaku Dihukum







TEMPO.COJakarta - Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menegaskan tidak boleh ada perundungan atau bullying di lingkungan kampus. Selain itu, rektor harus memberikan sanksi kepada siapa pun yang melakukannya.

"Kita tidak boleh melakukan bullying seperti itu. Kita semua punya kesamaan hak dalam pendidikan, siapa pun, yang khususnya disabilitas," katanya di Jakarta, Senin, 17 Juli 2017.


Sebelumnya, sebuah video memperlihatkan aksi bullying terhadap seorang pemuda yang diduga berkebutuhan khusus. Rekaman ini ramai beredar di media sosial dan menjadi viral. Dalam video tersebut, tas korban ditarik seorang mahasiswa.
Korban pun berusaha melepaskan diri hingga terhuyung. Akhirnya korban berhasil lepas dan sempat melemparkan tong sampah kepada pelaku.
Para mahasiswa lain yang melihat kejadian ini bukannya menolong, malah ikut menonton sambil bertepuk tangan.
Nasir menegaskan para penyandang disabilitas harus dilayani sesuai warga yang lain.
"Kalau ada bullying semacam ini, rektorlah yang harus menindak dan rektor sudah bertindak memberikan sanksi (kepada) tiga orang itu," ujarnya.
Wakil Rektor III Universitas Gunadarma Irwan Bastian mengatakan terduga pelaku dan korban adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi angkatan 2016.
Para mahasiswa terduga pelaku perundungan terhadap temannya yang berkebutuhan khusus diketahui berstatus mahasiswa semester dua di Universitas Gunadarma.
Dari video yang terekam dan viral di media sosial itu, Irwan menyebut peristiwa terjadi di Kampus Universitas Gunadarma di Kelapa Dua, Depok.